Sejarah Perkembangan Islam Di Mesir

Sejarah Perkembangan Islam Di Mesir

Kajian Dunia Islam merupakan kajian rutin yang diselenggarakan di Masjid Al Amanah Kementerian Keuangan. Dalam Kajian Dunia Islam yang dilaksanakan pada bulan Februari, Ustadz DR. Muqodam Cholil, Lc, MA, (Ketua KNRP Pusat) menyampaikan tentang perjuangan umat Islam di Mesir sejak jaman Sahabat hingga saat ini, termasuk didalamnya membahas tentang reformasi di Mesir yang baru saja terjadi. Berikut adalah ringkasan dari kajian tersebut.

Profil Mesir

  • Ibukota : Kairo
  • Populasi : 80.505.756
  • Bahasa resmi : Arab, lainnya Inggris
  • Pemerintahan : Republik Arab Mesir
  • Presiden : Mohammed Hussein Tantowi
  • Perdana Menteri : Ahmad Shafiq
  • Agama : Islam (94%), sisanya Kristen (kaum Coptic)
  • Kemerdekaan : Dari Inggris, Tgl 28 Februari 1922
  • Deklarasi : 18 Juni 1953
  • Wilayah : 1.001.450
  • Kepadatan : 77/km2
  • PDP (PPP) : US$282,2 miliar
  • Per kapita : US$4.072
  • Mata uang : Pound
  • Kegiatan ekonomi : pertanian, perkebunan, peternakan, pertambangan, perindustrian, dan perdagangan

Negara Mesir disebut juga Arab Republic Of Egypt. Mesir termasuk dalam wilayah Afrika Utara, dengan ibukotanya Kairo.

Demografi

Mesir merupakan negara Arab paling banyak penduduknya sekitar 83 juta orang. Hampir seluruh populasi terpusat di sepanjang Sungai Nil, terutama Iskandariyah dan Kairo, dan sepanjang Delta Nil dan dekat Terusan Suez. Hampir 90% dari populasinya adalah pemeluk Islam dan sisanya Kristen.

Sejarah

Mesir segera menjadi daerah yang mempunvai peranan penting dalam sejarah perkembangan Islam. Sejak Nabi Muhammad saw hidup dakwah islam sudah sampai di sana yaitu ketika beliau mengirim surat kepada para penguasa disekitarnya. Peranan yang dimainkan Mesir dalam sejarah perkembangan Islam dapat dilihat dalam berbagai bidang, antara lain bidang politik dan perluasan daerah Islam, bidang ilmu pengetahuan, pendidikan dan kebudayaan dll.

Mesir dibebaskan pasukan Islam

Perkataan Amru bin Ash kepada Muqaukis (gubernur Mesir) Dan sesungguhnya Nabi Muhammad saw telah memberitakan bahwa Mesir akan menjadi tanggungjawab kami untuk membebaskannya dari penjajah Romawi Timur , dan diwasiatkannya kepada kami agar berlaku baik terhadap penduduknya. Nabi Muhammad saw bersabda, maksudnya :”Sepeninggalku nanti, Mesir, menjadi kewajiban kalian untuk membebaskannya, maka perlakukanlah penduduknya dengan baik, karena mereka masih mempunyai ikatan dan hubungan kekeluargaan dengan kita … !”‘ HR. Muslim

(1) Hadits tersebut memberi petunjuk bahwa orang-orang Koptik di Mesir merupakan paman-paman dari Ismail as. Karena ibunda Ismail as Hajar adalah seorang wanita warga Mesir. Pada waktu itu penguasa Mesir Fir’aun memberi hadiah kepada Ibrahim as. seorang hamba sahaya (Hajar) kemudian dijjadikan isterinya, kemudian melahirkan Ismail as sebagai cikal bakal bapak bangsa Arab.

Permohonan ‘Amru bin al-‘Ash kepada Umar bin al-Khattab untuk membebaskan Mesir. Setelah ummat Islam usai menaklukkan Syam dan Palestina, ‘Amru bin al-’Ash memohon kepada Khalifah Umar bin Khattab untuk membebaskan Mesir. Panglima ini menerangkan kepada Khalifah betapa kaya dan suburnya bumi lembah Nil itu dan betapa penting letaknya menurut ilmu penerangan.

‘Amru bin al-’Ash membawa tentara 4000 melalui padang pasir Sinai, sehingga sampai di El-‘Arisy dan menaklukkan kota itu dengan tidak mendapatkan perlawanan, kemudian ia terus ke Alfarma, kota tua yang berbenteng kuat dan ketika itu menjadi pintu gerbang Mesir dari sebelah Timur. Dari Alfarma beliau terus ke Bilbis, dan di kota itu ia bertemu dengan Panglima Aretion yang telah melarikan diri ke Mesir sebelum Yerussalem menyerah. Ringkasnya seluruh Mesir berhasil dibebaskan dari penjajah Romawi Timur oleh Amru bin Ash.

Mesir menerima Islam sejak dini

Islam masuk ke Mesir pada masa Khalifah ‘Umar bin Khattab, ketika ia memerintahkan ‘Amr bin Ash membawa pasukan Islam untuk mendudukinya. Setelah menduduki daerah ini, Amr bin Ash langsung menjadi amir (gubernur) di sana (632-660) dan menjadikan kota Fustat (dekat Cairo) sebagai ibukotanya.

Pada masa selanjutnya, yang memerintah Mesir berturut-turut adalah

  1. Dinasti ‘Umayah
  2. Dinasti ‘Abbasiyah
  3. Dinasti Tulun (868-905)
  4. Dinasti Ikhsyd (935-969),
  5. Dinasti Fatimiyah (909-1171),
  6. Dinasti Ayubiyah (117-1250) yang ditandai dengan Perang Salib (1096-1273)
  7. Dinasti Mamluk (1250-1517) dan
  8. Pada masa sesudahnya Mesir menjadi bagian Kerajaan Usmani Turki (Ottoman).

Pada rentetan silih bergantinya pemerintahan di Mesir telah tercatat sejumlah sumbangannya dalam bidang perluasan Islam dan percaturan politik bagi perjuangan umat Islam, antara lain:

  1. Pada masa pemerintahan Anbasah bin Ishak (238 H/853 M-242 H/857 M) dari Bani Abbas yang mendirikan Benteng Dimyat dan Tinis untuk mempertahankan Mesir dan daerah-daerah Islam dari serangan Bizantium;
  2. Pada masa pemerintahan Nasir Muhammad bin Qalawun (1293-1340) dari Dinasti Mamluk pengaruh kekuasaan Mesir telah meluas ke Afrika Utara, Irak, Asia Kecil, dan Madinah; dan
  3. Suatu pengaruh besar yang dimainkan oleh Mesir ketika Salahuddin Yusuf al-Ayyubi memimpin perlawanan Cairo yang dilintasi Sungai Nil dalam Perang Salib (1094-1291) yang diawali oleh Kristen Eropa karena kekhawatiran mereka akan penaklukan Islam ke Eropa. Pada saat itu Islam telah menguasai Asia Kecil, pintu gerbang untuk memasuki Constantinopel (Istanbul).
  4. Dibawah sultan Solauddin al-Ayyubi bangsa Mesir dan kaum muslimin berhasil memerdekakan Palestina dari cengkeraman pasukan salib yang telah berkuasa 90 tahun dalam perang Hittin.

Pembebasan Palestina oleh Pasukan Mesir dibawah Sholahuddin al-Ayyubi

Tiga bulan setelah pertempuran Hattin, dan pada hari yang tepat sama ketika Nabi Muhammad SAW diperjalankan dari Mekah ke Yerusalem untuk perjalanan mikrajnya ke langit, Salahuddin memasuki Yerusalem dan membebaskannya dari 88 tahun pendudukan tentara Perang Salib. Sebaliknya dengan “pembebasan” tentara Perang Salib, Salahuddin tidak menyentuh seorang Nasrani pun di kota tersebut, sehingga menyingkirkan rasa takut mereka bahwa mereka semua akan dibantai. la hanya memerintahkan semua umat Nasrani Latin (Katolik) untuk meninggalkan Yerusalem.

Umat Nasrani Ortodoks, yang bukan tentara Perang Salib, dibiarkan tinggal dan beribadah menurut yang mereka pilih.

Bidang Pendidikan dan Kebudayaan.

Sumbangan terpenting Mesir bagi kemajuan umat Islam adalah dalam bidang pengetahuan, pendidikan, dan kebudayaan. Sejak masa pemerintahan Dinasti Fatimiyah, Mesir, khususnya Cairo, telah menjadi pusat intelektual muslim dan kegiatan ilmiah dunia Islam. Universitas al-Azhar-universitas tertua di dunia yang didirikan oleh Jauhar al-Katib as-Saqilli pada 7 Ramadan 361 (22 Juni 972) memainkan peranan penting dalam sejarah peradaban Islam. Pada masa selanjutnya, selama berabad-abad universitas itu menjadi pusat pendidikan Islam dan tempat pertemuan puluhan ribu mahasiswa muslim yang datang dari seluruh dunia.

Bertambahnya keinginan akan pendidikan menyebabkan tumbuhnya berbagai universitas:

  • Universitas Iskandariyah di Iskandariyah dan
  • Universitas Ain Syams di Cairo.
  • Universitas Mansyuriyah yang didirikan pada tahun 1972 (sebelumnya cabang Universitas Cairo),
  • Universitas Tanta (sebelumnya cabang Universitas Iskandariyah)
  • Universitas Hilwan.
  • Universitas Assiut yang didirikan pada tahun 1957
  • Universitas Munafia
  • Universitas Suez yang didirikan tahun 1976.
  • Universitas Amerika yang disingkat AUC (The American University in Cairo), yang didirikan bagi pendidikan orang Mesir dengan tenaga pengajar dari Amerika sejak tahun 1928.
  • Dan lain-lain

Masuknya Napoleon ke Mesir (1798) tanpa perlawanan yang berarti dari umat Islam kembali menyadarkan umat Islam akan kemandekan kebudayaannya. Pada masa selanjutnya kesadaran itu memunculkan gagasan besar bagi para pemikir dan pemimpin umat Islam khususnya di Mesir. Patriotisme Mesir dipelopori oleh at-Tahtawi (1801-1873) yang berpendirian bahwa Mesir dan negara lain baru bisa maju apabila berada di bawah penguasa sendiri, bukan di bawah tangan orang asing. Nasionalisme Mesir dipelopori oleh Mustafa Kamil (1874) yang mendirikan Partai Hizb al-Wathan untuk memperjuangkan kemerdekaan Mesir dari kekuasaan Inggris

Mesir era modern

Abad modern (1805-1917) dimulai dengan pemerintahan Muhammad Ali Pasya. Ia digantikan oleh putra sepupu Sa’id Pasya, yakni Isma’il Pasya (1863-1879). Inggris campur tangan dalam pemerintahan Mesir pada 1882, tetapi secara de facto Mesir tetap tunduk kepada Ottoman hingga 1914. Antara 1914-1922 Mesir menjadi protektorat Inggris.

Mesir merdeka dari Inggris pada 1922.

Negara ini mengambil bentuk pemerintahan monarki konstitusional. Pada 23 Juli 1952 terjadi revolusi yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Mohammad Naguib, panglima perang dalam pemerintahan Raja Farouk, yang menyebabkan Raja Farouk turun takhta.

Mesir kemudian menjadi republik pada 18 Juni 1953 dengan Naguib sebagai presiden merangkap perdana menteri. Pada Januri-Februari 2011 terjadi revolusi besar yang berhasil menjungkirkan presiden Hosni Mubarok yang telah berkuasa 30 tahun Kepala negara saat Muhammad Tantowi dengan tugas utama mengawal transisi pemerintahan menuju sipil. Dari Mesir lahir ide nasionalisme Arab yang dipelopori oleh Gamal Abdel Nasser. Mesir adalah negara luar pertama kali yang mengakui kemerdekaan RI

Hubungan Indonesia dengan Mesir

Dalam sejarah diplomasi, Indonesia telah menjalin hubungan dengan Mesir sejak lama. Mesir adalah negara yang pertama kali mengakui kemerdekaan Indonesia. Sukarno memang dekat dengan Gamal Abdel Nasser. Gamal Abdel Nasser, Sukarno, dan PM India Jawaharlal Nehru adalah tiga ikon dalam Konferensi Asia Afrika 1955.

Dalam forum Organisasi Konferensi Islam (OKI), Indonesia dan Mesir adalah anggota komite Jerusalem yang beranggotakan 16 negara Islam. Komite Jerusalem yang kini dipimpin Maroko adalah sebuah komite khusus yang dibentuk OKI untuk menentukan kebijakan politik OKI atas Kota Jerusalem Timur dan kompleks Masjid Al Aqsa.

Sebab-sebab revolusi Mesir

Tingkat kemiskinan di Mesir mencapai 30 persen dari sekitar 83 juta penduduk. Selama 30 tahun berkuasa, orang yang awalnya dikenal bersih itu tidak membuat rakyat Mesir sejahtera. Tragis memang Jutaan rakyat Mesir yang hidup dalam kemiskinan adalah penghuni wilayah kumuh mengerikan yang tidak jauh dari Tahrir Square yang telah menjadi simbol revolusi rakyat Mesir. Lima kuburan utama di ibukota termasuk 1. Pemakaman Utara, 2. pemakaman Bab el Nasr , 3. Pemakaman Selatan, 4. Pemakaman Besar, dan 5. pemakaman Bab el Wazir menjadi tempat tinggal warga miskin Mesir. Kelima pemakaman utama di ibukota tersebut dikenal sebagai “Kota Mati.”Saya melihat sendiri (sudah 3 kali ke Mesir), warga miskin yang tinggal di kuburan sebagian besar hidup dari amal orang-orang yang mengunjungi kuburan keluarga mereka. Al Infitah, politik pintu terbuka, warisan Sadat yang diteruskan Mubarak untuk menggalakkan investasi modal Mesir hanya membuat makmur presiden, keluarga, dan para jenderal yang menjadi anteknya.

Sistem kekuasaan di Mesir sangat feodal, walaupun bergelar presiden yang umumnya mempunyai wakil, namun selama 30 tahun Hosni mubarok tidak mempunyai wakil, pada dasarnya mubarok adalah seorang raja.

Hosni Mubarok berubah menjadi orang terkorup, menurut harian Alkhabar, jumlah kekayaan Mubarak dan keluarganya mencapai sekitar US$ 40 miliar atau sekitar Rp 360 triliun. Sementara rakyat Mesir menderita dan sengsara.

Di Mesir tidak ada kebebasan untuk menyampaikan pendapat dan aspirasi warga tersumbat, Banyaknya pengangguran, Tidak hanya menganggur, kebebasan mereka pun diberangus. Bila Sadat menahan 1.500 orang, Organisasi HAM mesir menuding Mubarak menahan sekitar 4.000 orang tanpa ada proses peradilan.

Demokrasi dimatikan, persoalan kemiskinan tersebut semakin tersulut mana kala rezim Hosni Mubarak mengebiri demokrasi. Akibatnya timbul amarah yang selama ini terpendam.

“Tidak ada demokrasi, bayangkan partai seperti Ihwanul Muslimin sempat memiliki 84 kursi di parlemen. Dalam pemilu terakhir jadi 0, tapi tingkat partisipasi masyarakat di bawah 10 persen.

Maka awal Januari 2011, meniru Tunisia yang sukses dengan Revolusi Melati, aktivis menyerukan rakyat Mesir untuk melakukan gerakan bersama melawan kemiskinan, pengangguran, korupsi pemerintah, dan kekuasaan Mubarak. 25 Januari, rakyat mulai turun ke jalan dalam jumlah besar. Mereka menyebut hari itu sebagai “The Day of Anger’, hari kemarahan.

Akhirnya Husni Mubarak mubarok terjungkal, Jumat (11/2), dengan pekikan “Allaahu akbar” dan “Shah ya Misr” (Hidup Mesir) membahana di seantero Kairo. Kata-kata kemenangan itu juga terdengar dari warga di berbagai penjuru Mesir hingga sabtu pagi.

Reformasi Mesir dan Masa Depan Dunia Arab

Menjelang jatuhnya Mubarok Mesir telah menjadi negara lemah, baik dalam bidang ekonomi maupun sosial kemasyarakatan. Negara Mesir telah mundur dari perannya secara regional maupun internasional sebagai negara Arab terbesar sejak era Anwar Sadat Dalam sebuah laporan yang dirilis oleh Pusat Global Finacial Integrity di Amerika bulan lalu menyatakan, “Sesungguhnya kejahatan dan korupsi merugikan Mesir sekitar $ 6 Miliar pertahun, dengan perhitungan lainnya bahwa Mesir telah kehilangan (merugi) sekitar $ 57,2 Miliar selama periode antara 2000-2008.

Sesungguhnya kerugian keuangan pertahunnya lah yang menghambat kemampuan pemerintah untuk mendorong pembangunan ekonomi dan mengurangi tingkat kemiskinan, sehingga membuat sistem ini tidak mampu lagi yang akhirnya mendorong Mesir untuk menjadi seperti saat ini, tidak ada stabilitas politik dan sosial.”

seorang ilmuwan politik Mesir dan kepala fakultas ilmu politik di Universitas Kairo ketika ia mengatakan pada tahun tujuh puluhan bahwa rencana Zionis dan juga kekuatan Barat terhadap Mesir terkonsentrasi pada tiga hal : Penghancuran Mesir dari dalam : Dengan cara menggelembungkan elemen kelemahan di bagian dalam tubuh Mesir dengan cara meruntuhkan ekonomi dan mendorongnya menjadi krisis nilai-nilai politik. Strategi ini telah bekerja melumpuhkan tiga elemen perubahan di Mesir selama tiga atau empat dekade, yaitu : para pemuda, para pemikir dan para pemimpin, sampai terjadilah revolusi.

Mengisolasi Mesir dari negara-negar Arab di sekitarnya.

Menciptakan keadaan lumpuh pada fungsi regional Mesir. Strategi ini telah berhasil, dan para pemimpin Mesir selama dekade terakhir tidak mempergunakan kekuatan kepadatan penduduk yang terdiri dari para pelajar, para ulama dan intelektual. Posisi Mesir yang stattegis berubah menjadi hanya tempat saja, seperti dikatakan ilmuwan politik Mesir Gamal Hamdan. Menurut dia, Mesir tidak menggunakan kekuatan populasi ini dan letaknya yang strategis untuk kebaikan atau kepentingan Arab dan Islam, bahkan untuk kepentingan rakyatnya sendiri yang hidup dalam kemiskinan.

Koalisi revolusi 25 Januari telah menyerukan agar jutaan rakyat Mesir mengadakan perayaan pada hari Jumat besok (18/2) di Kairo Tahrir Square dan ruang publik terkemuka di seluruh ibukota untuk memperingati mereka para demonstran yang telah kehilangan nyawa mereka dalam pemberontakan 25 Januari serta merayakan keberhasilan menjatuhkan presiden Hosni Mubarak .

Dalam pernyataan pada hari Rabu kemarin (16/2), koalisi juga menyerukan pembebasan segera semua tahanan politik, pembentukan kabinet pemerintahan yang terdiri dari teknokrat, penghapusan Undang-Undang Darurat, dan penghapusan Biro Investigasi Keamanan Negara. Pernyataan itu juga menyerukan penarikan semua uang yang dicuri dari uang rakyat oleh anggota rezim sebelumnya.

Grand Imam Al-Azhar Ahmad Al-Thayyib mengatakan bahwa hukum Islam (Syariah) harus tetap menjadi sumber utama negara pasca-Mubarak lengser. Syaikhul Azhar Ahmad Al-Thayyib mengatakan bahwa Pasal 2 Konstitusi Mesir tidak boleh diubah atau ketegangan sektarian yang malah akan terjadi. Pasal 2 konstitusi Mesir mengatakan bahwa “Islam adalah Agama Negara. Arab adalah bahasa resmi, dan sumber utama hukum adalah hukum Islam (Syariah).”